Jumat, 21 Desember 2012

membeli tanpa uang

Pengalaman profesionalnya ini membuahkan hasil yang tidak tanggung-tanggung. Antara lain, dia berhasil melakukan hair cut untuk korporasi hingga 70 persen dari total utang sebesar USD 100 juta, dan melakukan berbagai aksi pencaplokan perusahaan, yang didalamnya termasuk properti.

Cipto Junaedy

Strategi yang diajarkan oleh Cipto Junaedy berakar dari pengalaman profesionalnya menduduki posisi manajemen puncak sebagai group finance director. Di posisi itu, dia mengendalikan 13 perusahaan asing yang beraset lebih dari USD 500 juta.


Cipto Junaedy mengajarkan dalam berbagai seminar yang telah diselenggarakan di banyak kota, baik luar negeri maupun dalam negeri, di antaranya di Jakarta, Makassar, Surabaya, Medan, Bali, Balikpapan, Palembang, dan kota-kota lainnya di Indonesia; agar setiap orang memiliki properti minimum sejumlah anaknya, tanpa utang, tanpa uang.


Pada empat tahun terakhir, sejak usia 35 tahun, Cipto Junaedy membagikan dan mengajarkan strategi-strateginya melalui seminar terpopuler Strategi Membeli Properti Tanpa Uang Tanpa KPR, Tanpa Harus Menunggu Harga Miring yang diselenggarakan di berbagai kota besar di Indonesia dan luar negeri.

Selama 15 tahun, dia berpengalaman di korporasi, keuangan, dan bisnis, baik di industri manufaktur, jasa, dan trading. Bidang konsentrasinya adalah debt restructuring, merger and acquisition, corporate budgeting, company valuating, strategic tax planning, haircut, banking, capital expenditure, strategic comprehensive financial planning, serta public corporation reporting, dan shareholders issues management.



Cipto Junaedy      Nama ini sudah tidak asing lagi. Strategi Tanpa Uang Tanpa Utang yang diajarkannya dikenal orisinil dan mendobrak. Strateginya itu mampu mematahkan strategi Kiyosaki dan Dolf De Ross yang berbasis utang. Hampir setiap minggu namanya menghiasi berbagai media massa nasional dan daerah. Seminar yang dibawakannya pun menjadi yang terbesar dan terpopuler, juga hadir secara eksklusif dikenal tanpa menggunakan sponsor manapun, karena materi yang disampaikannya berbicara tentang strategi dan agar bebas kepentingan.

Tak heran, selama 10 tahun terakhir, dia terbang rata-rata 100 kali setiap tahun untuk perjalanan bisnis berkaitan dengan pengalaman profesional tersebut. Dia telah terbang ke Jepang lebih dari 30 kali untuk melakukan negosiasi bisnis di bidang banking, manufacturing, dan trading.



Sumber : Cipto Junaedy

Sabtu, 01 Desember 2012

Sejarah Senat Mahasiswa STIS

SEMA STIS adalah lembaga tertinggi kemahasiswaan yang menjalankan fungsi eksekutif. Sema sebagai sentral koordinasi dan informasi serta memiliki peran sebagai penampung, penyalur, pengontrol, pengakomodir bakat, minat, profesi, dan kegiatan mahasiswa di lingkungan STIS. Sementara itu, lembaga organisasi intrakampus yang ada di bawahnya meliputi Unit-unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).

 

Senat Mahasiswa pada periode 2007/2008 merupakan SEMA pertama yang dibentuk di STIS setelah 3 tahun masa vakum pembekuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). SEMA pertama dilantik pada tanggal 27 Februari 2008 dengan ketua dan wakil ketua pertama Budi Wibowo dan Akhmad Mun’im. Perguruan Tinggi Kedinasan

 

Kemudian, dilanjutkan oleh Senat Mahasiswa periode 2008/2009 dengan Choirul Okviyanto sebagai Ketua dan Aditya Sangaji sebagai Wakil Ketua, Senat Mahasiswa periode 2009/2010 dengan Taupikurrahman sebagai Ketua dan Ahmad Nur Fajri sebagai Wakil Ketua, Senat Mahasiswa periode 2010/2011 dengan Syirrul Hadi Utama sebagai Ketua dan Arya Diana Putra sebagai Wakil Ketua, serta Senat Mahasiswa periode 2011/2012 (sekarang) dengan Agus Sutopo sebagai Ketua dan Mutiurrohman Sucianto sebagai Wakil Ketua.

 

SEMA STIS sendiri merupakan adaptasi dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). SEMA STIS berpusat pada lingkungan kampus Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta.

Perguruan Tinggi Kedinasan

 

Tugas dan Fungsi SEMA STIS sebagaimana tercantum dalam AD-ART Imastis adalah:

 

Mengajukan program kerja kepada Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan melaksanakannya dengan persetujuan Ketua STIS.

Melaksanakan ketetapan DPM dan mengkoordinasikan semua kegiatan IMASTIS.

Membuat petunjuk pelaksanaan semua kegiatan IMASTIS yang bersifat umum di bawah pengawasan DPM.

Together Be Better!...

 

Salam SEMA-ngat!...

 

 

Sumber : USM STIS 2013/2014

 

Website SEMA

 

Selasa, 27 November 2012

2.1.4. The Case of AIG

With total assets of more than 1 trillion USD and revenues of 113 billion USD

as per 2006, AIG used to be the worlds’ largest insurance company (by assets) and

number ten on the Fortune 500 list of the largest US companies.

In the 1990s AIG’s Financial Products unit in London entered into the market

for credit derivatives. Because the underlying debt securities – mostly corporate issues

and some mortgage securities – carried investment

grade ratings, AIG was

 

happy

to book income in exchange

for providing

insurance. After all, the management

apparently assumed that they

would

never

have

to pay

any claims. By 2008,

AIG

had insured 513 billion USD in debt via CDS contracts including 78 billion USD

mortgage

related CDOs. Industry practice permits firms with very

high credit ratings

to enter into OTC

derivatives

contracts with limited or no collateral or margin

payments.

Since AIG itself used to be a highly rated company,

it did not have

to

post

collateral to its CDS counterparties. This

made the contracts all the more profitable.

32

On 16 September 2008, AIG suffered a serious liquidity crisis following the

downgrade of its credit rating by at least two notches by the three top global rating

agencies, who at the same time warned that more downgrades could follow.

Moody’s Investors Service cut AIG’s rating from Aa3 to A2, a two-notch downgrade.

Standard & Poor’s

Ratings Services even

lowered

the rating to A-minus from

AA-minus,

a three notch reduction while Fitch

Ratings reduced its credit standing

also

by two

notches from AA-minus to A. This

triple strike

hit the insurer in a situation

when it was

struggling to find new

sources of funding at a time of global financial

turmoil which has brought two

of the biggest investment

banks to their knees.

After

this rigorous downgrade

of its creditworthiness

the company was

contractually

obliged to provide

collateral to its trading counterparties, which led to a severe

 

liquidity

crisis.

The London unit of AIG sold credit protection by writing CDS on CDOs that had

declined in value. To prevent the company from collapsing, and in order for AIG to

meet its obligations to post additional collateral to CDS trading partners, the FED

announced the creation of a secured credit facility of up to 85 billion USD. The

credit facility was secured by the assets of AIG subsidiaries. In addition the FED received

warrants

for a 79.9% equity stake

and the right to suspend dividends to all

 

Source : Perguruan Tinggi Kedinasan

 

Rabu, 21 November 2012

Ini adalah pertama kali nulis di blog. :)

Teman-teman ini adalah blog pertamaku. Aku baru buat blog dan diajari teman aku dengan akun twitter @riioCr

 

Ohya sebagai penghargaan dia hanya meminta memberi kredit link ke blog nya, gakpapa kan?

Ini credit link nya

Ini adalah postingan pertamaku, ayo kunjungi blog aku Rakuten.co.id: Toko online murah, serba ada Barang unik Jepang